Horas Ma Dihita Saluhutna

Yuk Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT

BATAK NETWORK - Ketika Presiden RI yang ke 7 Ir. Joko Widodo menghadiri acara Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba (KKPDT) pada tanggal 20 - 21 Agustus 2016 silam, ternyata meninggalkan pergunjingan menarik dan layak di bahas serta di ulas di berbagai media, khususnya di media-media sosial. Adapun ulasan tsb adalah Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT. Ada yang pro dan ada pula yang kontra, dan bagi yang kontra ini adalah mereka-mereka barisan sakit hati (haters) kepada Jokowi (panggilan akrab Presiden Ir. Joko Widodo) dan bahkan yang tidak tahu sejarah atau makna ULOS Batak sebenarnya. Oleh karena itu, kami mencoba mengajak Anda sekalian untuk menyimak ulasan mengenai Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT tsb. Berikut paparannya.

Yukk Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT
Perhatikan Foto Kiri: Pakaian Adat Batak Toba, Foto Kanan: Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Memakai Ulos Adat Batak Toba. Tidak ada perbedaannya.

Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT
Oleh: Birgaldo Sinaga

Pada Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba, Presiden Jokowi menerima pemberian Ulos Ragidup dan Penutup Kepala beserta tongkat.

Bagi masyarakat Batak Ulos merupakan harta kekayaan paling berharga. Pada awal abad 13 dulu, tekstil belum ada. Manusia yang hidup di banyak pelosok nusantara masih banyak yang tubuhnya bertelanjang atau menutupi tubuhnya dengan cawat dari kulit pohon. Masyarakat Batak yang mendiami Danau Toba menutupi tubuhnya dengan ulos. Inilah pakaian asli Batak yang dikerjakan dengan proses yang sangat rumit dan lama.

Pembuatan ulos menjadi pekerjaan paling sulit dan lama karena dikerjakan melalui proses pemintalan kapas menjadi benang lalu memilinnya kemudian menenunnya satu persatu benang benang yang sudah diberi pewarna.

Presiden RI Ir. Joko Widodo beserta Ibu Negara Iriana Joko Widodo
Presiden RI Ir. Joko Widodo beserta Ibu Negara Iriana Joko Widodo Memakai Ulos Pada Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 20 - 21 Agustus 2016 (Sumber Foto: Okezone.com)

Bagaimana sih pembuatan ulos Batak itu terutama yang dipakai Presiden Jokowi? Yuk simak penjelasannya yang saya kutip dari tulisan Oloan Pardede.

Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.

Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.

Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.

Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.

Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.

Proses pembuatan ulos batak.

Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.

Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.

Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.

Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.

Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.

Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.

Pakaian Adat Batak Toba
Pakaian Adat Batak Toba (Sumber Foto: Google.com)

Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.

Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.

Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.

Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).

Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.

Ulos Ragi Hidup.

Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .

Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita.

Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.

Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga (dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain.

Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).

Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang.

Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.

Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).

Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.

Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan di daerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.

Salam

Penulis: Birgaldo Sinaga
Sumber: Akun Facebook Birgaldo Sinaga

0 Response to "Yuk Mengenal Ulos Yang Di Pakai Presiden Jokowi Ketika menghadiri KKPDT"